may i say hello for my best viewers :3

all of my creativity

Senin, 14 November 2011

SISAKANKU DALAM DUKA

            Pagi ini kembali hujan menyelimuti langitku. Aku harus bersusah payah untuk berangkat ke sekolah. Dihadapkan beberapa pilihan, pertama, naik bus tidak akan kehujanan tetapi pastilah terlambat sampai sekolah. Atau kedua, tetap naik motor tetapi harus rela kehujanan. Dan akhirnya aku memilih pilihan kedua. Andaikan kelak aku sudah sukses dan punya mobil mewah, pasti aku tidak akan repot seperti ini jikalau turun hujan. Pagi, siang, sore, malam, hujan pun, kemanapun pasti lebih mudah.
            Tiba disekolah sebelum masuk, tetapi seperti sebelumnya, telat masuk kelas karena harus melipat jas hujan. Huh, kebiasaan tiap pagi di musim hujan yang menyebalkan ini. Terkadang aku rindu masa-masa SMP ku dulu, musim hujan pun tidak perlu susah payah takut kehujanan. Karena sekolahku hanya berjarak sepuluh langkah dari rumah. Ya, setiap hari selalu kuhitung langkahku menuju SMP ku dulu. Kalau sekarang SMA ku lumayan jauh, tak tau berapa langkah dari rumahku.
            Kuintip keadaan di dalam kelas dari celah-celah pintu kayu kelasku. “Ehem! Telat lagi, telat lagi?” seseorang mengagetkanku dari belakang. Dengan ragu dan gemetaran aku tengok belakang. Kukira dia adalah guru ter-killer di sekolahku yaitu, Pak Jaimin. Ternyata dia adalah Rino. Orang paling aku benci di kelasku, karena dia itu sok pintar, sok bijaksana, sok ganteng, sok dari segala sok deh. “Apaan sih? Nggak usah sok benar deh! Kamu kan juga telat?” tanpa membalas pertanyaanku, dia langsung saja masuk ke dalam kelas. Tambah menyebalkan saja anak itu. Akupun mengikuti jejak sepatunya yang berdecit tak terlalu keras itu. Dugaanku benar, kami berdua dihukum karena tidak masuk tepat pada waktunya. Hukumannya adalah membelikan teman-teman satu kelas semangkok soto di kantin Pak Econg. Padalah soto disana terhitung tidak murah bagi kantongku yang dangkal ini. Berbeda sekali degan harga soto waktu aku SD. Yang harganya sangatlah murah meriah. Tapi keadaan sekarang tentunya sudah sangat berbeda.
            Setelah hampir 3 jam kupelototi jam dinding di kelasku. Akhirnya sampai juga saatnya untuk pulang. Kulihat sosok seorang perempuan tinggi, tubuhnya tidak terlalu kurus, berkulit cokelat, dan berambut ikal pendek. Baru kusadari itu adalah Shinta. Teman sejak aku kecil, dan satu-satunya teman yang terbaik bagiku. Yang selalu kuingat darinya adalah saat dia dan aku berumur 10 tahun. Dihari ulang tahunnya kuberikan dia sebuah kado boneka pocong jumbo, dan kuberikan dipinggir  danau. Disaat dibukanya, dia kaget dan terpeleset masuk danau. Dan akhir ceritanya adalah dia harus menginap di rumah sakit selama 2 hari. Jika ingat tentang kejadian itu, kembali kutahu betapa nakalnya aku waktu kecil. Tetapi sekarang betapa cueknya aku dan sangatlah berbeda dibandingkan disaat aku kecil dulu.
            Shinta menggandengku dan mengisyaratkanku agar aku mengikutinya. Kami sampai dikantin Pak Econg, dan menghampiri seorang lelaki bertubuh tinggi, putih, tidak terlalu buruk sih, tetapi rasanya aku mual saat dia menoleh padaku. Pria itu adalah R-I-N-O = Rino!. Shinta memperkenalkannya padaku. Sebagai sesama anak baru atau anak kelas X. Pasti Shinta mengira kami belum saling mengenal satu sama lain. Padahal aku teramat sangat mengenal Rino, karena dia adalah musuhku sejak dia pindah rumah dan menjadi tetangga depan rumahku setahun lalu.
            Kunikmati saja satu jam bertatap muka dengan si monster angkuh dan sok-sokan ini. Setelah Shinta dan Rino selesai berbicara, Shinta mengajakku pulang. Dijalan hanya membicarakan tentang Rino. Setelah sampai rumah Shinta, tanpa berkata apapun dan berbasa-basi apapun, langsung saja aku pergi. Karena saking badmoodnya, aku tak memperhatikan jalanku. “Brukkkk!” penyok sudah mobil yang  berada tepat dihadapanku. Dan keluar seorang pria berperawakan tegap dan gagah, lumayan ganteng juga. Tetapi tetap saja aku menjadi gemetaran dan langsung saja aku meminta maaf. “Ma..ma..maafkan saya mas. Tadi ada kucing nyelonong gitu aja saya kaget terus nggak sengaja nabrak, tapi..” Belum selesai bicaraku, mas-mas itu memotongnya. “Sudahlah, intinya sekarang ganti rugi karena mobil saya sudah cacat seperti ini. Mana STNK kamu? Dan ini kartu nama saya, hubungi setelah kamu bilang kepada orang tua kamu dan ganti rugi mobil ini. Permisi, saya masih banyak urusan yang lebih penting daripada ini.” Katanya angkuh dan dingin. Tanpa fikir panjang, langsung saja kuberi STNK, dan aku terima kartu nama darinya. “Mati aku, dia polisi? Bisa disate sama mama ni kalo sampai aku ketahuan nabrak mobil milik polisi? Aduh bagaimana ini?” rengekku selama perjalan pulang.
            Kubuka gerbang rumah dan kuparkirkan motorku pada tempatnya. Tanpa kusadari, ternyata ada mobil yang terparkir didepan rumahku. Dengan cueknya, tanpa mengucap salam, langsung saja aku masuk ke dalam rumah. “Rena! Masuk rumah tanpa salam, berapa kali  sih mama bilang ? jaga tata krama kamu, kamu ini seorang perempuan.”seru mama dari arah dalam. Dan aku hanya menjawabnya dengan salam. Mama menghampiriku dan berbisik supaya aku bersalaman dan bertemu dengan tamu mama yang aku tidak tahu siapa. Kujumpai seorang laki-laki berciri-ciri sama dengan mas-mas yang mobilnya aku buat penyok tadi siang. Dan baru kusadari bahwa mobil yang terparkir di depan rumah adalah mobil yang tadi tidak sengaja aku tabrak.
            Tanpa berfikir panjang lagi, sudah kuduga itu adalah mas-mas polisi yang mobilnya kutabrak. Saat lelaki itu menoleh dan menemuiku, ternyata dugaanku benar. Itu adalah mas-mas polisi tadi. Aku dan dia sama-sama terkejut. Aku sangat malu sekali, lalu aku ikut bergabung dengan mama dan orang itu. Setelah itu, mama memperkenalknannya kepadaku. Namanya Tetra, lengkapnya Tetra Prabowo. Dia adalah anak teman masa kecil mama yang sudah lama tidak bertemu. Mas Tetra adalah seorang polisi yang baru saja lulus dari sekolah polisinya. Saat sebelum pulang, Mas Tetra menghampiriku dan menyodorkan STNK motorku sembari tersenyum dan berkata, “Sudahlah, lupakan kejadian tadi siang. Sampai berjumpa lagi ya. Lain kali hati-hati kalau dijalan.” Hatiku terasa sangat lega dan sengang sekali. Lalu Mas Tetra pun pulang.
            Mama menceritakan semua padaku dan intinya mama memintaku untuk membuka hati untuk Mas Tetra. Kata mama, Mas Tetra sudah suka kepadaku sejak kecil. Karena waktu itu, kami pernah berteman. Mas Tetra adalah temanku yang paling perhatian padaku walaupun saat itu ia telah kelas 3 SD dan aku masih TK. Aku hanya menuruti apa yang dikatakan oleh mama, walau sebenarnya aku tak mengetahui bagaimana caranya agar aku bisa membuka hatiku untuk pertama kali kepada seorang laki-laki.
            Hari berikutnya, aku menjalani aktifitasku seperti biasa. Tetapi bedanya aku selalu terfikir tentang perkataan mama. Disaat aku akan berangkat sekolah. Aku mengalami pecah ban. Aku kebingungan karena hari itu ada ulangan pada jam pertamaku. Tak mungkin bila aku harus naik bus. Tanpa aku tahu ternyata mama memanggil Rino dan memintanya untuk memberiku tumpangan ke sekolah. Dengan terpaksa aku numpang nebeng sama Rino. Sepanjang jalan, Rino mengajakku berbincang, tetapi mulutku serasa terjahit oleh ribuan jahitan sehingga tak bisa terbuka, hanya untuk menjawab segala macam pertanyaannya. Sebenarnya aku juga kasihan, karena Rino seperti burung Beo yang hanya berbicara sendiri tanpa respon dariku.
            Tak seperti biasa, Shinta berada didekat parkiran sepeda motor. Dia melihatku membonceng Rino. Tatapannya sudah menandakan sakit hatinya. Dia tetap menunggu sampai aku dan Rino menghampirinya. Lalu dia berkata, “Kalian sudah cukup kenal ya sekarang?”. Rino menjawabnya “Yaiyalah, namanya juga tetangga depan rumah.”. Shinta tambah tidak menampakkan senyumnya kepadaku. Itu terjadi sampai pulang sekolah. Dia terlihat bertampang mendung tanpa sinar mentari, padahal cuaca hari ini sangatlah terang. Akhirnya, hari ini aku pulang sendirian. Kalau saja tadi, aku tidak membonceng Rino, pasti sekarang Shinta sudah menepati janjinya untuk mentraktirku pizza dan ice cream. “Ahh, semuanya gara-gara si Rino. Aku benci Rino!”. Baru saja aku menutup mulutku, tiba-tiba sebuah motor menyerempetku dari belakang. Kejadian itu terjadi di depan gerbang komplek perumahanku. Tak ada seorangpun yang menolongku. Sampai akhirnya seorang malaikat tampan menolongku, saat kulihat kembali, ternyata itu bukanlah malaikat tampan yang menolongku, tetapi monster yang kebetulan lewat dan menolongku. Siapa lagi kalau bukan si Rino? Dia mengobati lukaku dan mengantarkanku pulang. Ternyata dia pria yang baik juga.
            Sampai di rumah, Rino berpamitan pulang. Hanya kata “Terimakasih” tanpa ekspresi yang aku berikan. Rino membalasnya dengan senyuman yang sok manis, lalu dia kembali pulang.
            Kudapati satu pesan masuk di HP bututku, ternyata itu Shinta,”Ada hubungan apa antara kamu dan Rino? Kuharap kamu tahu bagaimana semestinya kamu menjaga persahabatan kita”. Aku sangat terkejut dan kuingat lagi kejadian tadi pagi, saat aku turun dari motor Rino. Aku tidak sengaja terjatuh dan Rino membantuku untuk berdiri dan sepertinya dia sangat menghawatirkanku. Apakah ini yang membuat Shinta salah faham dan cemburu padaku? Kubalas pesan Shinta,“Tak ada yang harus aku katakan, karena memang tidak ada sesuatu hubungan antara kami, Shin. Apa maksud kamu?”. Itulah pesan balasanku. Sampai beberapa hari setelahnya Shinta tak membalasnya. Di sekolahpun dia selalu menghindariku. Dan aku selalu sendiri menjalani hari-hariku.
            Hari ke-13 setelah kujalani hari-hariku. Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak terdaftar dalam kontak HP ku. Hanya satu kata ‘Hay?’. Aku tak tahu kenapa, aku yang biasanya cuek dengan sms-sms tidak jelas seperti itu. Kali ini kubalas dengan sapaan yang sama. “Apa kabar Rena? Ini aku Rino J”. Mimpi apa aku semalam? Kenapa bisa dia menyapaku dengan sms seperti ini? Lalu kubalas sms-sms nya dengan bahasa yang cuek tingkat tinggi. Tak hanya itu, akhir-akhir ini dia sering berkomentar di beberapa status facebookku. Dan mulai saat itu, dia sepertinya selalu mendekatiku.
            Saat malam minggu tiba, aku iseng keluar rumah dan sepedaan keliling komplek sendirian. Ada yang aneh, saat aku berbelok di gang ujung jalan komplek. Aku baru merasa bahwa ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Aku cepat-cepat mencari tempat yang lebih ramai, yaitu di taman komplek.
            Seseorang turun dari sepedanya, memanggilku. “Rena, tunggu dulu!” teriaknya. Ternyata Rino. “Ngapain kami? Ngikutin aku? Kurang kerjaan?” kataku. “Nggak baik kalau seorang cewek cantik seperti kamu keluar sendirian , malem-malem lagi. Harusnya kamu bersyukur aku temenin, Ren?” jawabnya. Lalu kami duduk di bangku taman, makan jagung bakar traktiran Rino. Tak ada obrolan hangat yang dapat menghangatkan suasana dingin malam itu. Aku asyik sendiri dengan HP ku, facebook-an. Sedangkan Rino hanya sibuk untuk menghitung bintang yang sedikit tertutup oleh kabut. “Rena, kamu sepertinya tidak terlalu suka dengan sikapku? Atau kamu tidak menyukaiku untuk menjadi temanmu?” tanyanya dengan mata tajam menatapku. Aku diam sejenak mencoba mengartikan apa yang dimaksudnya. Hatiku menjadi gelisah. Seperti ingin kujawan “iya” namun, aku menjadi tidak tega. Lalu aku menggelengkan kepalaku dan dia malah menertawaiku. “Ada apa?” tanyaku. “Sepertinya kamu sangat terpaksa untuk menggelengkan kepalamu kekanan dan kekiri. Lupakanlah saja Rena. Jangan kamu fikirkan pertanyaanku tadi.” kami kembali terdiam.
            Sorot lampu mobil menyilaukan mata kami. Turunlah seorang lelaki berperawakan tegap, ternyata Mas Tetra. Dia mengajakku pulang. Ternyata sudah lebih dari 2 jam lamanya, dia menungguku dirumah. Padahal aku berada di taman, berdua bersama Rino. Sungguh aku merasa tidak enak kepada Mas Tetra. Kemudian aku diantar Mas Tetra pulang.
            Sampai di rumah, Mas Tetra yang ditemani mama di ruang tamu, mendapat sebuah telefon. Disaat aku baru saja selesai ganti baju dan keluar menuju ruang tamu, Mas Tetra dengan terpaksa harus berpamitan pulang karena ayahnya sedang sakit dan membutuhkannya. Aku mengantarkannya sampai gerbang depan rumah. Dia tersenyum, dan kubalas kembali senyumannya.
            Tepat jam 3 dini hari, suara mama sudah melengking dari lantai bawah. Mataku terasa berat untuk terbuka. “Ada apa ma? Masih jam 3, masak aku disuruh sekolah sekarang?” teriakku. mama menjawab dan masuk ke kamarku “Ada berita duka sayang. Ayahnya Mas Tetra meninggal dunia tadi malam. Ayo segera siap-siap dan segera kesana sama mama biar diantar sama Pak Kasmin” ”Innalilahi wainailaihi rajiún.. iya ma, aku siap-siap dulu”
            Aku sampai dirumah duka, dan masuk bersama mama. Suasana yang tergambar begitu hening, masih belum banyak orang yang datang karena hari masih terlalu pagi. Aku masuk dan melihat Mas Tetra duduk dan melihat jenazah Ayahnya dengan sesekali terlihat tetesan air matanya. Aku tak tega melihatnya. Aku dan mama segera mendekat dan menenangkan keluarga yang sedang berduka. Aku menemani Mas Tetra duduk disamping jenazah ayahnya.
            “Harus kutitipkan kepada siapakah surat ijin ku? Tak mungkin ku beri kan kepada Shinta. Atau harus ku berikan kepada Rino?”sedikit perasaan bimbangku terlukis di raut wajahku mengingat hubunganku dengan Shinta saat itu. Ketika itu aku duduk diemperan rumah Mas Tetra, dan Mas Tetra ternyata keluar dan menghampiriku. “Ada mendung diwajahmu? Adakah suatu masalah? Cerita lah dik.” “Tidak mas, tidak pantas aku bicarakan saat suasana seperti ini mas. Ini hanya masalah kecil” aku tersenyum. “Ceritakan padaku, agar aku dapat melupakan sedikit dukaku saat ini adik. Ayah adalah seorang yang bijaksana, tegas, dan pribadi yang sangat aku kagumi. Aku tidak menyangka sakit yang hanya sebentar dideritanya , ternyata dapat merenggut nyawanya secepat ini. Aku saja bisa mengesampingkan perasaan dukaku dik, kenapa kamu tidak bisa untuk menceritakan masalah kecilmu kepadaku? Mungkin, aku dapat membantu mencari jalan keluar bagimu. Sebagai ucapan terimakasihku karena kamu mau menemaniku saat ini.”jelasnya panjang lebar.
            Aku ceritakan tentang Shinta, lalu Mas Tetra menyarankan agar aku menjauhi Rino untuk sementara waktu. Dalam hatiku terbesit sebuah pertanyaan. “mengapa aku ceritakan Rino kepada Mas Tetra? Tidakkah aku menambahi beban fikirnya?”. Namun semua itu salah, Mas Tetra adalah orang yang bijaksana dan dewasa. Ia mau memahami aku. Aku sungguh bahagia mendapat seorang sahabat sepertinya.
            Aku pulang bersama mama saat acara pemakaman sudah selesai. Belum sampai aku masuk kedalam rumah, gadis kecil memanggil namaku. Ia membawa sebuah cokelat yang diberi pita pink dan tergantung sebuah kartu. Aku menerimanya dengan perasaan yang terheran-heran. Gadis itu tak mengucap satu kata pun, langsung berlari dan akhirnya menghilang diujung jalan gang kompleks.
            Apa yang membuatmu bimbang?
            Apa yang membuatmu selalu diam?
            Apa yang membuatmu bungkam?
            Apa yang membuat senyummu terkunci untukku?
            Taukah kamu? Aku sangat mengharap senyumanmu..
            Maafkan aku yang terlalu jujur kepadamu Rena..
Mataku terbelalak membaca kartu itu. Seingatku, hanya satu orang yang selalu kuperlakukan seperti itu. Seseorang itu adalah Rino. Tapi apakah cokelat dan kartu ini dari Rino? Ya, ini pasti Rino. Karena ada inisial R yang tertulis indah dipojok kanan kartu ini.
            Kuterlelap sampai malam, namun aku kembali dibangunkan oleh mama. Mama bilang ada seseorang yang mau menemuiku. Aku pun keluar dan menemui seorang perempuan itu, Shinta. Aku gugup berhadapan dengannya. Dia membawa sekotak kardus yang berisi banyak barang-barang. “Simpan ini kembali. Makasih buat waktu yang kamu luangin buat aku selama kita masih temenan!” “Apa kamu bilang? Apa ini semua berarti persahabatan kita telah usai? Tega kamu denganku Shinta?”. Dia tidak menghiraukanku dan langsung pergi, tanpa berpamitan. Aku lemas dan tidak menyangka semua akan seperti ini, hanya karena sebuah salah paham kecil.
            Aku duduk dan memandang pada kardus yang berisi barang-barang yang aku berikan kepada Shinta dulu. Ternyata dia bergitu keras kepala dan egois. Mama memintaku untuk segera masuk dan istirahat, karena hari sudah larut dan suasana sangat dingin. Aku menurutinya, namun aku kembali keluar di teras atas. Aku lihat diseberang, Rino juga sedang duduk di teras atas depan  kamarnya. Dia melambaikan tangan dan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Dia menelefonku, aku malas untuk mengangkatnya. Namun Rino kemudian mengirimkan sebuah pesan dan kemudian aku balas.
            “Malam ini sangat dingin, tapi mengapa kamu ada diluar sendirian?”
            “Aku sedang tidak enak fikiran, Rino...”
            “Apa ini karena Shinta yang datang kerumahmu tadi?”
            “Iya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
            “Memang aku tahu bahwa Shinta menyukaiku. Tadi saat kamu tidak berangkat sekolah, dia menyatakan perasaannya kepadaku. Namun, aku tidak bisa menerima dia, karena hanya kamu yang ada dihatiku RENA!”
            “Apa kamu benar-benar berbicara seperti itu kepadanya? Kau katakan kepadanya bahwa kau menyukaiku? Kamu memang menyebalkan Rino! Jangan hubungi aku lagi. AKU BENCI KAMU!”
            “Maafkan aku, Ren. Aku sungguh mencintaimu. Tolong jangan kau marah kepadaku”
            Aku tidak membalasnya. Aku langsung masuk dan menutup gorden kamarku. Aku menangis tersedu disamping ranjangku. “Ya Allah, apa-apaan ini? Kuatkan aku.” Aku heran, mengapa aku bisa menangis seperti ini. Pikiranku bercampur aduk, aku merasa bersalah kepada Shinta, tapi aku juga tidak tega untuk meninggalkan Rino. Dan inilah keputusanku untuk menjauhi Rino.
            Keesokan harinya saat aku berangkat, Rino sengaja menungguku keluar didepan gerbang rumah. Namun, aku mengabaikannya. Di sekolah, dia berusaha berbicara kepadaku, namun aku menolaknya mentah-mentah. Aku menjauhinya untuk kebaikan bersama. Mungkin saja sikapku ini, nantinya dapat merubah pemikiran Shinta, dan Shinta akhirnya memaafkanku. Di kantin sekolah, aku masih saja diikuti oleh Rino. Aku bertemu dengan Shinta, aku mencoba tersenyum kepadanya, namun dia malah membentakku. “Apa kamu masih punya muka di depanku? Sahabat macam apa kamu? Menikam dari belakang. Pengecut!” “Salahku apa Shinta? Maafkan aku?” “Heh, ngaca dulu sana! Biar kamu tahu salahmu apa!”. Dia menyampar minumanku dan mengenai seragam OSIS ku. Rino berusaha membelaku dan berusaha menenangkan suasana. Namun Shinta jadi tambah ganas, dia menumpahkan minumannya kemuka Rino. Seluruh orang dikantin sontak mengarahkan pandangannya kepada kami. Pak Econg pun datang dan menenangkan suasana. Dia berbalik memarahi Shinta, dengan alasan Shinta telah mengotori kantinnya. Lalu Shinta pergi bersama teman-teman barunya itu. Pak Econg dan Rino menenangkanku. Aku malah langsung pergi tidak menghiraukan Rino, dan menuju toilet. Setelah itu, Rino tidak berusaha untuk mendekatiku lagi.
            Pulang sekolah, aku lihat Rino duduk diatas motornya. Motornya berada tepat dibelakang motorku. Aku acuh saja dan langsung pergi meninggalkan Rino, menyudut di parkiran motor sekolah. Dia terlihat sakit hati dan sedih. Aku pun sampai dirumah, dan ternyata hari itu aku dirumah sendiri karena mama pergi ke Surabaya selama 2 hari.
            Malam itu tidak seperti biasanya. Suasana kompleks sangatlah sepi, seperti tak berpenghuni. Aku sengaja menidurkan tubuh dan jiwaku ini lebih awal. HP ku berdering saat aku baru sebentar terlelap. Telepon dari Rino, dan aku tidak menjawabnya. Dia meneleponku lebih dari 15 kali. Dan pada dering ke-16 baru aku angkat. “Tahu sopan santun nggak sih? Orang tidur kok diganggu?” “Rena, ini bukan main-main. Ada tiga orang asing masuk rumahmu 10 menit yang lalu. Dengan siapa kamu disana?” “Ap...apa, No? Aku sendirian...”. Suara gaduh mulai terdengar dari arah lantai bawah rumahku. “Rino, tolong aku.” Belum selesai aku berbicara, salah seorang dari maling itu masuk ke kamarku, aku berteriak sangat keras sebelum akhirnya mulutku dibungkam sebuah kain dan tanganku diikat dengan tali tambang yang ia bawa. Ternyata Rino sudah berhasil masuk ke rumah, dan dia berhasil menghadapi dua orang maling yang ada di lantai bawah. Saat itu, orang yang membungkamku, menyeretku turun kebawah. Aku melihat Rino. Tinggal tersisa satu, aku tidak menyangka kalau semua berakhir buruk. Ternyata seorang terakhir ini membawa sebuah pisau, saat Rino akan menyerangnya. Namun na’as, Rino tertusuk pisau itu. Rino jatuh tak berdaya dengan darah yang berceceran di bawah tangga rumah dengan pisau yang masih menancap tepat pada dadanya. Aku terdiam sampai akhirnya aku menangis dan berusaha melepas ikatan tanganku. Maling itu pun pergi tanpa setelah melihat Rino tidak berdaya. Ikatan tanganku terbuka, aku segera berlari untuk mencoba menyelamatkan Rino. Aku menyandarkannya di lenganku, dengan darah yang masih keluar dari dadanya. Dia tersenyum kepadaku dan berkata, “Alhamdulillah Rena selamat, maafkan aku tidak bisa melindungimu. Maafkan aku telah menghancurkan persahabatanmu. Aku sangat me..me..” “Sudahlah Rino! Lupakan soal itu, aku memaafkanmu. Bertahanlah Rino, aku akan mencari bantuan.” Aku berdiri meminta bantuan, namun tanganku ditahan oleh Rino, “Jangan pergi, temani aku Rena. Aku hanya membutuhkanmu saat ini. Aku tulus mencintaimu. Jangan mahal-mahal memberi senyumanmu. Janganlah kau marah kepada..paa..padaku..” kata-kata yang terucap dari mulut Rino sudah mulai terputus-putus. Datang ibu Rino yang sudah curiga tentang apa yang terjadi. Dia menangis histeris melihat anak bungsunya tergolek lemah dilantai dengan darah berceceran dan sebuah pisau yang menancap didadanya. “Mama..Rena.. aku sayang kalian.” Itu kata terakhir Rino, aku tidak menyangka Rino telah pergi meninggalkanku. Aku menyesali segalanya, aku terlalu naif, dan aku sungguh menyesali kenaifanku. Aku tidak mengakui bahwa aku juga sangat mencintainya, aku terlambat menyadari rasa itu. Kini tak ada lagi kesempatan untukku menyatakan rasa hatiku kepada Rino. Bertambah luka yang menganga dihatiku. Semua sudah terlambat, tak dapat lagi kuulangi. Rino pergi membawa cinta yang selama ini terabaikan olehku. Dan kini aku merasakan cintaku terabaikan oleh Rino, karena dia tidak memberiku waktu untuk menyatakan perasaanku.
            Unggukan tanah merah, taburan bunga yang amat harum, dan sebuah papan kayu tertulis nama seseorang yang sangat aku cintai “Rino Yusni Kisnawan”. Aku duduk disamping rumah barunya. Mendoakannya dan berusaha mengajaknya berbincang, padahal kutahu aku dan Rino sudah berbeda dunia. Sudah berulangkali Mas Tetra memintaku untuk kembali pulang bersamanya dan mama. Sampai-sampai Shinta juga memintaku untuk berhenti menangis dan mengajakku untuk pulang. Mungkin Shinta telah memikirkan kenyataan yang ada, dan menyadari kesalah pahaman yang terjadi di antara kami. Tetapi semua rayuan mereka tidak menyurutkan niatku untuk selalu berada disamping makam Rino.
            Sampai sore aku masih ada disana. Aku sudah mulai bisa menerima kepergian Rino. Aku berpamitan kepadanya, “Aku pulang ya Rino, baik-baik disini. Aku sangat mencintai kamu, semoga Allah juga mencintaimu dan menempatkanmu disisi-Nya. Maafkan aku.” kembali air mataku mengalir bak tetesan darah dari luka yang menganga dalam hatiku.
            Aku berjalan menyusuri danau, dan aku membayangkan ada Rino disampingku. Aku hanya sendirian melihat sang mentari beranjak menuju singgasananya. Aku mendengar suara yang memanggilku, “Rena.. pulanglah, janganlah kamu terlalu larut dalam kesedihan” aku sangat senang karena kukira itu adalah suara Rino yang berada dibelakangku. Namun, saat aku menolehkan kepalaku, dia adalah Mas Tetra. Aku sedikit kecewa, tapi juga sedikit terhibur oleh kehadirannya. Mas Tetra memberiku kekuatan untuk bisa mengikhlaskan Rino. Ternyata dia tidak marah karena tahu bahwa aku mencintai Rino. Dan Mas Tetra berhasil membujukku untuk pulang bersamanya.
            Kini, aku sadar. Aku tidak seharusnya mengabaikan rasa sayang orang-orang yang ada disekitarku. Sekarang secara perlahan, hubunganku dengan Shinta pulih seperti dulu lagi. Aku telah mendapat banyak pelajaran dari Rino. Dan selamanya, tidak ada yang dapat menggantikan posisi Rino dihatiku. Sekalipun Mas Tetra yang selalu ada disampingku sejauh ini. Aku jalani apa yang ada sekarang ini, dan satu lagi yang tidak akan aku lupakan. Pesan Rino, “. Jangan mahal-mahal memberi senyumanmu .” Ya, Rino. Mulai sekarang aku akan selalu tersenyum, untukmu dan untuk orang-orang yang sayang denganku.

by : Tiara Budi Yuliyatin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar