Pagi ini
kembali hujan menyelimuti langitku. Aku harus bersusah payah untuk berangkat ke
sekolah. Dihadapkan beberapa pilihan, pertama, naik bus tidak akan kehujanan
tetapi pastilah terlambat sampai sekolah. Atau kedua, tetap naik motor tetapi
harus rela kehujanan. Dan akhirnya aku memilih pilihan kedua. Andaikan kelak
aku sudah sukses dan punya mobil mewah, pasti aku tidak akan repot seperti ini
jikalau turun hujan. Pagi, siang, sore, malam, hujan pun, kemanapun pasti lebih
mudah.
Tiba disekolah sebelum masuk, tetapi
seperti sebelumnya, telat masuk kelas karena harus melipat jas hujan. Huh,
kebiasaan tiap pagi di musim hujan yang menyebalkan ini. Terkadang aku rindu
masa-masa SMP ku dulu, musim hujan pun tidak perlu susah payah takut kehujanan.
Karena sekolahku hanya berjarak sepuluh langkah dari rumah. Ya, setiap hari
selalu kuhitung langkahku menuju SMP ku dulu. Kalau sekarang SMA ku lumayan
jauh, tak tau berapa langkah dari rumahku.
Kuintip keadaan di dalam kelas dari
celah-celah pintu kayu kelasku. “Ehem! Telat lagi, telat lagi?” seseorang
mengagetkanku dari belakang. Dengan ragu dan gemetaran aku tengok belakang.
Kukira dia adalah guru ter-killer di
sekolahku yaitu, Pak Jaimin. Ternyata dia adalah Rino. Orang paling aku benci
di kelasku, karena dia itu sok pintar, sok bijaksana, sok ganteng, sok dari
segala sok deh. “Apaan sih? Nggak usah sok benar deh! Kamu kan juga telat?”
tanpa membalas pertanyaanku, dia langsung saja masuk ke dalam kelas. Tambah
menyebalkan saja anak itu. Akupun mengikuti jejak sepatunya yang berdecit tak
terlalu keras itu. Dugaanku benar, kami berdua dihukum karena tidak masuk tepat
pada waktunya. Hukumannya adalah membelikan teman-teman satu kelas semangkok
soto di kantin Pak Econg. Padalah soto disana terhitung tidak murah bagi
kantongku yang dangkal ini. Berbeda sekali degan harga soto waktu aku SD. Yang
harganya sangatlah murah meriah. Tapi keadaan sekarang tentunya sudah sangat
berbeda.
Setelah hampir 3 jam kupelototi jam
dinding di kelasku. Akhirnya sampai juga saatnya untuk pulang. Kulihat sosok
seorang perempuan tinggi, tubuhnya tidak terlalu kurus, berkulit cokelat, dan
berambut ikal pendek. Baru kusadari itu adalah Shinta. Teman sejak aku kecil,
dan satu-satunya teman yang terbaik bagiku. Yang selalu kuingat darinya adalah
saat dia dan aku berumur 10 tahun. Dihari ulang tahunnya kuberikan dia sebuah
kado boneka pocong jumbo, dan kuberikan dipinggir danau. Disaat dibukanya, dia kaget dan
terpeleset masuk danau. Dan akhir ceritanya adalah dia harus menginap di rumah
sakit selama 2 hari. Jika ingat tentang kejadian itu, kembali kutahu betapa
nakalnya aku waktu kecil. Tetapi sekarang betapa cueknya aku dan sangatlah
berbeda dibandingkan disaat aku kecil dulu.
Shinta menggandengku dan
mengisyaratkanku agar aku mengikutinya. Kami sampai dikantin Pak Econg, dan
menghampiri seorang lelaki bertubuh tinggi, putih, tidak terlalu buruk sih,
tetapi rasanya aku mual saat dia menoleh padaku. Pria itu adalah R-I-N-O =
Rino!. Shinta memperkenalkannya padaku. Sebagai sesama anak baru atau anak
kelas X. Pasti Shinta mengira kami belum saling mengenal satu sama lain.
Padahal aku teramat sangat mengenal Rino, karena dia adalah musuhku sejak dia
pindah rumah dan menjadi tetangga depan rumahku setahun lalu.
Kunikmati saja satu jam bertatap
muka dengan si monster angkuh dan
sok-sokan ini. Setelah Shinta dan Rino selesai berbicara, Shinta mengajakku
pulang. Dijalan hanya membicarakan tentang Rino. Setelah sampai rumah Shinta,
tanpa berkata apapun dan berbasa-basi apapun, langsung saja aku pergi. Karena
saking badmoodnya, aku tak
memperhatikan jalanku. “Brukkkk!” penyok sudah mobil yang berada tepat dihadapanku. Dan keluar seorang
pria berperawakan tegap dan gagah, lumayan ganteng juga. Tetapi tetap saja aku
menjadi gemetaran dan langsung saja aku meminta maaf. “Ma..ma..maafkan saya
mas. Tadi ada kucing nyelonong gitu aja saya kaget terus nggak sengaja nabrak,
tapi..” Belum selesai bicaraku, mas-mas itu memotongnya. “Sudahlah, intinya
sekarang ganti rugi karena mobil saya sudah cacat seperti ini. Mana STNK kamu?
Dan ini kartu nama saya, hubungi setelah kamu bilang kepada orang tua kamu dan
ganti rugi mobil ini. Permisi, saya masih banyak urusan yang lebih penting
daripada ini.” Katanya angkuh dan dingin. Tanpa fikir panjang, langsung saja
kuberi STNK, dan aku terima kartu nama darinya. “Mati aku, dia polisi? Bisa
disate sama mama ni kalo sampai aku ketahuan nabrak mobil milik polisi? Aduh
bagaimana ini?” rengekku selama perjalan pulang.
Kubuka gerbang rumah dan kuparkirkan
motorku pada tempatnya. Tanpa kusadari, ternyata ada mobil yang terparkir
didepan rumahku. Dengan cueknya, tanpa mengucap salam, langsung saja aku masuk
ke dalam rumah. “Rena! Masuk rumah tanpa salam, berapa kali sih mama bilang ? jaga tata krama kamu, kamu
ini seorang perempuan.”seru mama dari arah dalam. Dan aku hanya menjawabnya
dengan salam. Mama menghampiriku dan berbisik supaya aku bersalaman dan bertemu
dengan tamu mama yang aku tidak tahu siapa. Kujumpai seorang laki-laki
berciri-ciri sama dengan mas-mas yang mobilnya aku buat penyok tadi siang. Dan
baru kusadari bahwa mobil yang terparkir di depan rumah adalah mobil yang tadi
tidak sengaja aku tabrak.
Tanpa berfikir panjang lagi, sudah
kuduga itu adalah mas-mas polisi yang mobilnya kutabrak. Saat lelaki itu
menoleh dan menemuiku, ternyata dugaanku benar. Itu adalah mas-mas polisi tadi.
Aku dan dia sama-sama terkejut. Aku sangat malu sekali, lalu aku ikut bergabung
dengan mama dan orang itu. Setelah itu, mama memperkenalknannya kepadaku.
Namanya Tetra, lengkapnya Tetra Prabowo. Dia adalah anak teman masa kecil mama
yang sudah lama tidak bertemu. Mas Tetra adalah seorang polisi yang baru saja lulus
dari sekolah polisinya. Saat sebelum pulang, Mas Tetra menghampiriku dan
menyodorkan STNK motorku sembari tersenyum dan berkata, “Sudahlah, lupakan
kejadian tadi siang. Sampai berjumpa lagi ya. Lain kali hati-hati kalau
dijalan.” Hatiku terasa sangat lega dan sengang sekali. Lalu Mas Tetra pun
pulang.
Mama menceritakan semua padaku dan
intinya mama memintaku untuk membuka hati untuk Mas Tetra. Kata mama, Mas Tetra
sudah suka kepadaku sejak kecil. Karena waktu itu, kami pernah berteman. Mas
Tetra adalah temanku yang paling perhatian padaku walaupun saat itu ia telah
kelas 3 SD dan aku masih TK. Aku hanya menuruti apa yang dikatakan oleh mama,
walau sebenarnya aku tak mengetahui bagaimana caranya agar aku bisa membuka
hatiku untuk pertama kali kepada seorang laki-laki.
Hari berikutnya, aku menjalani
aktifitasku seperti biasa. Tetapi bedanya aku selalu terfikir tentang perkataan
mama. Disaat aku akan berangkat sekolah. Aku mengalami pecah ban. Aku
kebingungan karena hari itu ada ulangan pada jam pertamaku. Tak mungkin bila
aku harus naik bus. Tanpa aku tahu ternyata mama memanggil Rino dan memintanya
untuk memberiku tumpangan ke sekolah. Dengan terpaksa aku numpang nebeng sama Rino. Sepanjang jalan, Rino
mengajakku berbincang, tetapi mulutku serasa terjahit oleh ribuan jahitan
sehingga tak bisa terbuka, hanya untuk menjawab segala macam pertanyaannya.
Sebenarnya aku juga kasihan, karena Rino seperti burung Beo yang hanya
berbicara sendiri tanpa respon dariku.
Tak seperti biasa, Shinta berada
didekat parkiran sepeda motor. Dia melihatku membonceng Rino. Tatapannya sudah
menandakan sakit hatinya. Dia tetap menunggu sampai aku dan Rino
menghampirinya. Lalu dia berkata, “Kalian sudah cukup kenal ya sekarang?”. Rino
menjawabnya “Yaiyalah, namanya juga tetangga depan rumah.”. Shinta tambah tidak
menampakkan senyumnya kepadaku. Itu terjadi sampai pulang sekolah. Dia terlihat
bertampang mendung tanpa sinar mentari, padahal cuaca hari ini sangatlah
terang. Akhirnya, hari ini aku pulang sendirian. Kalau saja tadi, aku tidak
membonceng Rino, pasti sekarang Shinta sudah menepati janjinya untuk
mentraktirku pizza dan ice cream. “Ahh, semuanya gara-gara si Rino. Aku benci
Rino!”. Baru saja aku menutup mulutku, tiba-tiba sebuah motor menyerempetku
dari belakang. Kejadian itu terjadi di depan gerbang komplek perumahanku. Tak
ada seorangpun yang menolongku. Sampai akhirnya seorang malaikat tampan
menolongku, saat kulihat kembali, ternyata itu bukanlah malaikat tampan yang
menolongku, tetapi monster yang kebetulan lewat dan menolongku. Siapa lagi
kalau bukan si Rino? Dia mengobati lukaku dan mengantarkanku pulang. Ternyata
dia pria yang baik juga.
Sampai di rumah, Rino berpamitan
pulang. Hanya kata “Terimakasih” tanpa ekspresi yang aku berikan. Rino
membalasnya dengan senyuman yang sok manis, lalu dia kembali pulang.
Kudapati satu pesan masuk di HP
bututku, ternyata itu Shinta,”Ada
hubungan apa antara kamu dan Rino? Kuharap kamu tahu bagaimana semestinya kamu
menjaga persahabatan kita”. Aku sangat terkejut dan kuingat lagi kejadian
tadi pagi, saat aku turun dari motor Rino. Aku tidak sengaja terjatuh dan Rino
membantuku untuk berdiri dan sepertinya dia sangat menghawatirkanku. Apakah ini
yang membuat Shinta salah faham dan cemburu padaku? Kubalas pesan Shinta,“Tak ada yang harus aku katakan, karena
memang tidak ada sesuatu hubungan antara kami, Shin. Apa maksud kamu?”. Itulah
pesan balasanku. Sampai beberapa hari setelahnya Shinta tak membalasnya. Di sekolahpun
dia selalu menghindariku. Dan aku selalu sendiri menjalani hari-hariku.
Hari ke-13 setelah kujalani
hari-hariku. Ada sebuah pesan dari nomor yang tidak terdaftar dalam kontak HP
ku. Hanya satu kata ‘Hay?’. Aku tak tahu kenapa, aku yang biasanya cuek dengan
sms-sms tidak jelas seperti itu. Kali ini kubalas dengan sapaan yang sama. “Apa kabar Rena? Ini aku Rino J”. Mimpi apa aku semalam? Kenapa bisa dia menyapaku dengan sms seperti
ini? Lalu kubalas sms-sms nya dengan bahasa yang cuek tingkat tinggi. Tak hanya
itu, akhir-akhir ini dia sering berkomentar di beberapa status facebookku. Dan mulai saat itu, dia
sepertinya selalu mendekatiku.
Saat malam minggu tiba, aku iseng
keluar rumah dan sepedaan keliling komplek sendirian. Ada yang aneh, saat aku
berbelok di gang ujung jalan komplek. Aku baru merasa bahwa ada seseorang yang mengikutiku
dari belakang. Aku cepat-cepat mencari tempat yang lebih ramai, yaitu di taman
komplek.
Seseorang turun dari sepedanya, memanggilku.
“Rena, tunggu dulu!” teriaknya. Ternyata Rino. “Ngapain kami? Ngikutin aku?
Kurang kerjaan?” kataku. “Nggak baik kalau seorang cewek cantik seperti kamu
keluar sendirian , malem-malem lagi. Harusnya kamu bersyukur aku temenin, Ren?”
jawabnya. Lalu kami duduk di bangku taman, makan jagung bakar traktiran Rino.
Tak ada obrolan hangat yang dapat menghangatkan suasana dingin malam itu. Aku
asyik sendiri dengan HP ku, facebook-an.
Sedangkan Rino hanya sibuk untuk menghitung bintang yang sedikit tertutup oleh
kabut. “Rena, kamu sepertinya tidak terlalu suka dengan sikapku? Atau kamu
tidak menyukaiku untuk menjadi temanmu?” tanyanya dengan mata tajam menatapku.
Aku diam sejenak mencoba mengartikan apa yang dimaksudnya. Hatiku menjadi
gelisah. Seperti ingin kujawan “iya” namun, aku menjadi tidak tega. Lalu aku
menggelengkan kepalaku dan dia malah menertawaiku. “Ada apa?” tanyaku.
“Sepertinya kamu sangat terpaksa untuk menggelengkan kepalamu kekanan dan
kekiri. Lupakanlah saja Rena. Jangan kamu fikirkan pertanyaanku tadi.” kami
kembali terdiam.
Sorot lampu mobil menyilaukan mata
kami. Turunlah seorang lelaki berperawakan tegap, ternyata Mas Tetra. Dia
mengajakku pulang. Ternyata sudah lebih dari 2 jam lamanya, dia menungguku
dirumah. Padahal aku berada di taman, berdua bersama Rino. Sungguh aku merasa
tidak enak kepada Mas Tetra. Kemudian aku diantar Mas Tetra pulang.
Sampai di rumah, Mas Tetra yang
ditemani mama di ruang tamu, mendapat sebuah telefon. Disaat aku baru saja
selesai ganti baju dan keluar menuju ruang tamu, Mas Tetra dengan terpaksa
harus berpamitan pulang karena ayahnya sedang sakit dan membutuhkannya. Aku
mengantarkannya sampai gerbang depan rumah. Dia tersenyum, dan kubalas kembali
senyumannya.
Tepat jam 3 dini hari, suara mama
sudah melengking dari lantai bawah. Mataku terasa berat untuk terbuka. “Ada apa
ma? Masih jam 3, masak aku disuruh sekolah sekarang?” teriakku. mama menjawab
dan masuk ke kamarku “Ada berita duka sayang. Ayahnya Mas Tetra meninggal dunia
tadi malam. Ayo segera siap-siap dan segera kesana sama mama biar diantar sama Pak
Kasmin” ”Innalilahi wainailaihi rajiún.. iya ma, aku siap-siap dulu”
Aku sampai dirumah duka, dan masuk
bersama mama. Suasana yang tergambar begitu hening, masih belum banyak orang
yang datang karena hari masih terlalu pagi. Aku masuk dan melihat Mas Tetra
duduk dan melihat jenazah Ayahnya dengan sesekali terlihat tetesan air matanya.
Aku tak tega melihatnya. Aku dan mama segera mendekat dan menenangkan keluarga
yang sedang berduka. Aku menemani Mas Tetra duduk disamping jenazah ayahnya.
“Harus kutitipkan kepada siapakah
surat ijin ku? Tak mungkin ku beri kan kepada Shinta. Atau harus ku berikan
kepada Rino?”sedikit perasaan bimbangku terlukis di raut wajahku mengingat
hubunganku dengan Shinta saat itu. Ketika itu aku duduk diemperan rumah Mas
Tetra, dan Mas Tetra ternyata keluar dan menghampiriku. “Ada mendung diwajahmu?
Adakah suatu masalah? Cerita lah dik.” “Tidak mas, tidak pantas aku bicarakan
saat suasana seperti ini mas. Ini hanya masalah kecil” aku tersenyum.
“Ceritakan padaku, agar aku dapat melupakan sedikit dukaku saat ini adik. Ayah
adalah seorang yang bijaksana, tegas, dan pribadi yang sangat aku kagumi. Aku
tidak menyangka sakit yang hanya sebentar dideritanya , ternyata dapat merenggut
nyawanya secepat ini. Aku saja bisa mengesampingkan perasaan dukaku dik, kenapa
kamu tidak bisa untuk menceritakan masalah kecilmu kepadaku? Mungkin, aku dapat
membantu mencari jalan keluar bagimu. Sebagai ucapan terimakasihku karena kamu
mau menemaniku saat ini.”jelasnya panjang lebar.
Aku ceritakan tentang Shinta, lalu Mas
Tetra menyarankan agar aku menjauhi Rino untuk sementara waktu. Dalam hatiku
terbesit sebuah pertanyaan. “mengapa aku ceritakan Rino kepada Mas Tetra?
Tidakkah aku menambahi beban fikirnya?”. Namun semua itu salah, Mas Tetra
adalah orang yang bijaksana dan dewasa. Ia mau memahami aku. Aku sungguh
bahagia mendapat seorang sahabat sepertinya.
Aku pulang bersama mama saat acara
pemakaman sudah selesai. Belum sampai aku masuk kedalam rumah, gadis kecil
memanggil namaku. Ia membawa sebuah cokelat yang diberi pita pink dan tergantung sebuah kartu. Aku
menerimanya dengan perasaan yang terheran-heran. Gadis itu tak mengucap satu
kata pun, langsung berlari dan akhirnya menghilang diujung jalan gang kompleks.
Apa
yang membuatmu bimbang?
Apa
yang membuatmu selalu diam?
Apa
yang membuatmu bungkam?
Apa
yang membuat senyummu terkunci untukku?
Taukah
kamu? Aku sangat mengharap senyumanmu..
Maafkan
aku yang terlalu jujur kepadamu Rena..
Mataku
terbelalak membaca kartu itu. Seingatku, hanya satu orang yang selalu
kuperlakukan seperti itu. Seseorang itu adalah Rino. Tapi apakah cokelat dan
kartu ini dari Rino? Ya, ini pasti Rino. Karena ada inisial R yang tertulis
indah dipojok kanan kartu ini.
Kuterlelap sampai malam, namun aku
kembali dibangunkan oleh mama. Mama bilang ada seseorang yang mau menemuiku.
Aku pun keluar dan menemui seorang perempuan itu, Shinta. Aku gugup berhadapan
dengannya. Dia membawa sekotak kardus yang berisi banyak barang-barang. “Simpan
ini kembali. Makasih buat waktu yang kamu luangin buat aku selama kita masih
temenan!” “Apa kamu bilang? Apa ini semua berarti persahabatan kita telah usai?
Tega kamu denganku Shinta?”. Dia tidak menghiraukanku dan langsung pergi, tanpa
berpamitan. Aku lemas dan tidak menyangka semua akan seperti ini, hanya karena
sebuah salah paham kecil.
Aku duduk dan memandang pada kardus
yang berisi barang-barang yang aku berikan kepada Shinta dulu. Ternyata dia
bergitu keras kepala dan egois. Mama memintaku untuk segera masuk dan
istirahat, karena hari sudah larut dan suasana sangat dingin. Aku menurutinya,
namun aku kembali keluar di teras atas. Aku lihat diseberang, Rino juga sedang
duduk di teras atas depan kamarnya. Dia
melambaikan tangan dan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Dia menelefonku, aku
malas untuk mengangkatnya. Namun Rino kemudian mengirimkan sebuah pesan dan
kemudian aku balas.
“Malam ini sangat dingin, tapi
mengapa kamu ada diluar sendirian?”
“Aku sedang tidak enak fikiran,
Rino...”
“Apa ini karena Shinta yang datang
kerumahmu tadi?”
“Iya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Memang aku tahu bahwa Shinta
menyukaiku. Tadi saat kamu tidak berangkat sekolah, dia menyatakan perasaannya
kepadaku. Namun, aku tidak bisa menerima dia, karena hanya kamu yang ada
dihatiku RENA!”
“Apa kamu benar-benar berbicara
seperti itu kepadanya? Kau katakan kepadanya bahwa kau menyukaiku? Kamu memang
menyebalkan Rino! Jangan hubungi aku lagi. AKU BENCI KAMU!”
“Maafkan aku, Ren. Aku sungguh
mencintaimu. Tolong jangan kau marah kepadaku”
Aku tidak membalasnya. Aku langsung
masuk dan menutup gorden kamarku. Aku menangis tersedu disamping ranjangku. “Ya
Allah, apa-apaan ini? Kuatkan aku.” Aku heran, mengapa aku bisa menangis
seperti ini. Pikiranku bercampur aduk, aku merasa bersalah kepada Shinta, tapi
aku juga tidak tega untuk meninggalkan Rino. Dan inilah keputusanku untuk
menjauhi Rino.
Keesokan harinya saat aku berangkat,
Rino sengaja menungguku keluar didepan gerbang rumah. Namun, aku
mengabaikannya. Di sekolah, dia berusaha berbicara kepadaku, namun aku
menolaknya mentah-mentah. Aku menjauhinya untuk kebaikan bersama. Mungkin saja
sikapku ini, nantinya dapat merubah pemikiran Shinta, dan Shinta akhirnya
memaafkanku. Di kantin sekolah, aku masih saja diikuti oleh Rino. Aku bertemu
dengan Shinta, aku mencoba tersenyum kepadanya, namun dia malah membentakku.
“Apa kamu masih punya muka di depanku? Sahabat macam apa kamu? Menikam dari
belakang. Pengecut!” “Salahku apa Shinta? Maafkan aku?” “Heh, ngaca dulu sana!
Biar kamu tahu salahmu apa!”. Dia menyampar minumanku dan mengenai seragam OSIS
ku. Rino berusaha membelaku dan berusaha menenangkan suasana. Namun Shinta jadi
tambah ganas, dia menumpahkan minumannya kemuka Rino. Seluruh orang dikantin
sontak mengarahkan pandangannya kepada kami. Pak Econg pun datang dan
menenangkan suasana. Dia berbalik memarahi Shinta, dengan alasan Shinta telah
mengotori kantinnya. Lalu Shinta pergi bersama teman-teman barunya itu. Pak
Econg dan Rino menenangkanku. Aku malah langsung pergi tidak menghiraukan Rino,
dan menuju toilet. Setelah itu, Rino tidak berusaha untuk mendekatiku lagi.
Pulang sekolah, aku lihat Rino duduk
diatas motornya. Motornya berada tepat dibelakang motorku. Aku acuh saja dan
langsung pergi meninggalkan Rino, menyudut di parkiran motor sekolah. Dia
terlihat sakit hati dan sedih. Aku pun sampai dirumah, dan ternyata hari itu
aku dirumah sendiri karena mama pergi ke Surabaya selama 2 hari.
Malam itu tidak seperti biasanya.
Suasana kompleks sangatlah sepi, seperti tak berpenghuni. Aku sengaja
menidurkan tubuh dan jiwaku ini lebih awal. HP ku berdering saat aku baru
sebentar terlelap. Telepon dari Rino, dan aku tidak menjawabnya. Dia
meneleponku lebih dari 15 kali. Dan pada dering ke-16 baru aku angkat. “Tahu
sopan santun nggak sih? Orang tidur kok diganggu?” “Rena, ini bukan main-main.
Ada tiga orang asing masuk rumahmu 10 menit yang lalu. Dengan siapa kamu
disana?” “Ap...apa, No? Aku sendirian...”. Suara gaduh mulai terdengar dari
arah lantai bawah rumahku. “Rino, tolong aku.” Belum selesai aku berbicara,
salah seorang dari maling itu masuk ke kamarku, aku berteriak sangat keras
sebelum akhirnya mulutku dibungkam sebuah kain dan tanganku diikat dengan tali
tambang yang ia bawa. Ternyata Rino sudah berhasil masuk ke rumah, dan dia
berhasil menghadapi dua orang maling yang ada di lantai bawah. Saat itu, orang
yang membungkamku, menyeretku turun kebawah. Aku melihat Rino. Tinggal tersisa
satu, aku tidak menyangka kalau semua berakhir buruk. Ternyata seorang terakhir
ini membawa sebuah pisau, saat Rino akan menyerangnya. Namun na’as, Rino
tertusuk pisau itu. Rino jatuh tak berdaya dengan darah yang berceceran di
bawah tangga rumah dengan pisau yang masih menancap tepat pada dadanya. Aku
terdiam sampai akhirnya aku menangis dan berusaha melepas ikatan tanganku. Maling
itu pun pergi tanpa setelah melihat Rino tidak berdaya. Ikatan tanganku terbuka,
aku segera berlari untuk mencoba menyelamatkan Rino. Aku menyandarkannya di
lenganku, dengan darah yang masih keluar dari dadanya. Dia tersenyum kepadaku
dan berkata, “Alhamdulillah Rena selamat, maafkan aku tidak bisa melindungimu.
Maafkan aku telah menghancurkan persahabatanmu. Aku sangat me..me..” “Sudahlah
Rino! Lupakan soal itu, aku memaafkanmu. Bertahanlah Rino, aku akan mencari
bantuan.” Aku berdiri meminta bantuan, namun tanganku ditahan oleh Rino,
“Jangan pergi, temani aku Rena. Aku hanya membutuhkanmu saat ini. Aku tulus
mencintaimu. Jangan mahal-mahal memberi senyumanmu. Janganlah kau marah
kepada..paa..padaku..” kata-kata yang terucap dari mulut Rino sudah mulai
terputus-putus. Datang ibu Rino yang sudah curiga tentang apa yang terjadi. Dia
menangis histeris melihat anak bungsunya tergolek lemah dilantai dengan darah
berceceran dan sebuah pisau yang menancap didadanya. “Mama..Rena.. aku sayang
kalian.” Itu kata terakhir Rino, aku tidak menyangka Rino telah pergi
meninggalkanku. Aku menyesali segalanya, aku terlalu naif, dan aku sungguh
menyesali kenaifanku. Aku tidak mengakui bahwa aku juga sangat mencintainya,
aku terlambat menyadari rasa itu. Kini tak ada lagi kesempatan untukku
menyatakan rasa hatiku kepada Rino. Bertambah luka yang menganga dihatiku.
Semua sudah terlambat, tak dapat lagi kuulangi. Rino pergi membawa cinta yang
selama ini terabaikan olehku. Dan kini aku merasakan cintaku terabaikan oleh
Rino, karena dia tidak memberiku waktu untuk menyatakan perasaanku.
Unggukan tanah merah, taburan bunga
yang amat harum, dan sebuah papan kayu tertulis nama seseorang yang sangat aku
cintai “Rino Yusni Kisnawan”. Aku duduk disamping rumah barunya. Mendoakannya
dan berusaha mengajaknya berbincang, padahal kutahu aku dan Rino sudah berbeda
dunia. Sudah berulangkali Mas Tetra memintaku untuk kembali pulang bersamanya
dan mama. Sampai-sampai Shinta juga memintaku untuk berhenti menangis dan
mengajakku untuk pulang. Mungkin Shinta telah memikirkan kenyataan yang ada,
dan menyadari kesalah pahaman yang terjadi di antara kami. Tetapi semua rayuan
mereka tidak menyurutkan niatku untuk selalu berada disamping makam Rino.
Sampai sore aku masih ada disana.
Aku sudah mulai bisa menerima kepergian Rino. Aku berpamitan kepadanya, “Aku
pulang ya Rino, baik-baik disini. Aku sangat mencintai kamu, semoga Allah juga
mencintaimu dan menempatkanmu disisi-Nya. Maafkan aku.” kembali air mataku
mengalir bak tetesan darah dari luka yang menganga dalam hatiku.
Aku berjalan menyusuri danau, dan
aku membayangkan ada Rino disampingku. Aku hanya sendirian melihat sang mentari
beranjak menuju singgasananya. Aku mendengar suara yang memanggilku, “Rena..
pulanglah, janganlah kamu terlalu larut dalam kesedihan” aku sangat senang
karena kukira itu adalah suara Rino yang berada dibelakangku. Namun, saat aku
menolehkan kepalaku, dia adalah Mas Tetra. Aku sedikit kecewa, tapi juga
sedikit terhibur oleh kehadirannya. Mas Tetra memberiku kekuatan untuk bisa
mengikhlaskan Rino. Ternyata dia tidak marah karena tahu bahwa aku mencintai
Rino. Dan Mas Tetra berhasil membujukku untuk pulang bersamanya.
Kini, aku sadar. Aku tidak
seharusnya mengabaikan rasa sayang orang-orang yang ada disekitarku. Sekarang
secara perlahan, hubunganku dengan Shinta pulih seperti dulu lagi. Aku telah
mendapat banyak pelajaran dari Rino. Dan selamanya, tidak ada yang dapat
menggantikan posisi Rino dihatiku. Sekalipun Mas Tetra yang selalu ada
disampingku sejauh ini. Aku jalani apa yang ada sekarang ini, dan satu lagi
yang tidak akan aku lupakan. Pesan Rino, “. Jangan mahal-mahal memberi
senyumanmu .” Ya, Rino. Mulai sekarang aku akan selalu tersenyum, untukmu dan
untuk orang-orang yang sayang denganku.
by : Tiara Budi Yuliyatin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar